Minggu, 09 Mei 2010
Refleksi Seorang Teman
Martinus Dam F. Nama panggilannya Dam. Sosoknya kurus dan tenang. Selama setahun, Dam mengikuti pendampingan Prompang Jakarta dan pada tahun 2010 memberanikan diri untuk mendaftar. Paskah kemarin menjadi saat yang membahagiakan baginya karena dia diterima sebagai novis dalam Serikat Jesus. Berikut ini Dam ingin membagikan refleksi perjalanan pencarian panggilannya.
Gereja Katedral Kristus Raja Tanjung Karang, pada suatu waktu yang aku sudah lupa kapan persisnya. Menjadi kebiasaanku untuk melihat papan pengumuman segera setelah misa kudus, di gereja manapun itu. “Anda pria lajang Katolik? Sedang mencari makna kehidupan yang lebih dalam? Ingin hidup alternatif yang mendalam dan menantang?”
Demikian bunyi pertanyaan-pertanyaan pada salah satu brosur yang tertempel di situ. Dan batinku menjawab; “Ya!” untuk semua itu. Kalimat-kalimat selanjutnya lebih menarik lagi; pandangan-pandangan luar yang keliru, pendosa tapi dipanggil, pelayan perutusan Kristus, menjawab kebutuhan dunia dan Gereja secara lebih penuh dan efektif demi kemuliaan Allah yang lebih besar, dsb. Maka, kucatat nomor telepon yang tertera dengan suatu ketetapan dalam hati pada suatu waktu nanti aku akan menghubungi nomor promosi panggilan ordo itu.
Perjalanan Awal
Memang, setelah beberapa waktu bekerja, hasrat terpendam untuk hidup alternatif, yaitu hidup sepenuh-penuhnya mengabdi Kristus melalui Gereja-Nya makin besar saja. Aku mengamati dalam diriku bahwa kegiatan-kegiatan kegerejaan selalu lebih membuatku bahagia daripada semua pekerjaan dan kegiatan yang lain. Aku makin menikmati Ekaristi dan selalu bergairah melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk lebih majunya Gereja kami. Aku makin mencintai Gereja dan rindu untuk berbuat sesuatu yang lebih baginya. Namun, kontak terakhir dengan bapa rohaniku, seorang imam OSC, agak membuatku surut. Aku berpikir sudah terlalu berumur dan jangan-jangan hanya akan memberatkan tarekat yang aku masuki nanti.
Penghujung Agustus 2008, aku menyelesaikan wajib kerjaku setelah lima tahun bekerja. Saatnya bagiku menentukan sikap untuk hidupku selanjutnya. Maka, di tengah rasa tidak pantasku, kuberanikan diri untuk menghubungi nomor yang masih kusimpan. Suara di seberang adalah Fr. Sigit Sukariadi, yang menanggapi dengan ramah dan antusias. Demikianlah untuk kali pertama aku berbincang dengan seorang Jesuit. Sebelumnya tokoh-tokoh Jesuit kukenal dalam tulisan-tulisan dan kiprah mereka dalam Gereja dan kemanusiaan. Pertama via telepon, lalu dilanjutkan dengan perbincangan secara langsung beberapa hari sesudahnya.
Dari perbincangan ini aku mendapatkan banyak informasi berkaitan dengan Ordo Serikat Jesus. Aku baru mengetahui betapa bapa pendiri serikat ini mempunyai pengalaman religius yang begitu kuat. Aku yang kurang akrab dengan askese agak ciut juga saat mendengar kisah pertobatan dan perjalanan rohani St. Ignatius Loyola. Aku disadarkan bahwa jalan untuk bisa diterima dan menjadi Jesuit tidaklah mudah. Frater ini menyarankan agar aku juga melihat kemungkinan untuk masuk ke tarekat atau ordo religius yang lain. Satu hal untuk diingat, bahwa Tuhanlah yang memanggil dan manusia memantaskan diri. Aku pulang dengan membawa sebuah buku tentang 9 tokoh Jesuit. Kata-kata Pedro Arrupe yang menutup buku itu, diantaranya bahwa Jesuit adalah manusia untuk manusia memberi kesan yang mendalam bagiku.
Perjumpaan kedua dengan Fr. Sigit adalah di akhir November, suatu perjalanan cuti yang bagiku di luar dugaan. Dari situ mungkin Fr. Sigit melihat keseriusanku sehingga aku mendapatkan rekomendasinya untuk mengikuti retret awal di pertengahan Januari tahun 2009. Tiga buah buku Seri Ignatian dipinjamkannya padaku. Aku juga dikenalkan dengan Asas dan Dasar. Membaca kisah peziarahan hidup, pertobatan, penghayatan iman, pikiran dan kehendak kuat St. Ignatius membuat perasaanku bercampur baur; antara rasa tawar dan semangat berkobar dalam hati. Nyala api semangat yang kian tumbuh dalam diriku karena kisah hidupnya yang inspiratif diperhadapkan dengan kerapuhan-kerapuhan manusiawiku. Siapakah aku sehingga merasa telah Dia panggil untuk menjadi pelayan perutusan-Nya?
Medio Januari 2009, bus Rosalia Indah membawaku ke Girisonta. Aku tak paham peta Jawa Tengah, dan ini menjadi perjalanan kali pertamaku ke Ungaran. Pesan Frater adalah; jangan sampai tertidur agar tidak terlewat, Gereja Girisonta ada di pinggir jalan besar, semua kondektur sudah paham. Di sepanjang perjalanan aku memikirkan apa yang akan kuhadapi di sana. Aku belum pernah berkunjung ke biara atau seminari mana pun sebelumnya. Aku juga tidak tahu apa dan bagaimana retret awal itu. Tapi satu hal menjadi peganganku, aku mau berjuang menanggapi panggilan ini, entah apa pun hasilnya.
Silentium magnum, demikian suasana yang dibangun selama retret empat hari tiga malam di Ambarawa. Sungguh mempesona ternyata keheningan itu. Tidak adanya interaksi antar retretan membuat kami tidak mempunyai pilihan lain, selain berhadapan dengan diri sendiri, lalu mencoba mendengar suara Allah berbicara di kedalaman hati kami. Keheningan menjadi modal untuk melihat kembali sejarah hidup dan memperoleh disposisi batin. Melalui pikiran jernih dan perasaan hati yang diolah dalam suasana doa, ke mana kehendak diarahkan? Walaupun doa-doa serta refleksiku mungkin jauh dari bermutu, tapi aku mengalami suatu perasaan bahagia dan tentram. Hasilnya, dari pihakku siap untuk meneruskan proyek panggilan ini dalam pendampingan intensif . Dari pihak Tim Promosi Panggilan, dalam hal ini Frater Didik (Budi Harsanto), siap mendampingi dan menjadi pembimbingku. Panggilan itu 100 % rahmat dan 100 % usaha manusia, sebuah pernyataan yang mengingatkanku kembali bahwa di satu sisi aku percaya dan menyerahkan hasilnya pada Tuhan, tetapi di sisi yang lain aku harus mencurahkan segenap daya manusiawiku untuk menanggapi panggilan-Nya.
Pendampingan Intensif
Mungkin karena agak terlalu bersemangat, aku tak terlalu memikirkan perjalanan yang bakal cukup melelahkan dan mahal bagiku, yaitu Sumatera Selatan (tempat kerja) – Jakarta (tempat rekoleksi), tiap dua bulan dan bahkan kemudian sebulan sekali. Aku harus mengatur keuangan, menjadwal waktu cuti, dan mengompromikannya dengan atasan serta rekan kerja. Bagiku itu adalah bagian yang harus kujalani dengan berbagai konsekuensi yang menyertainya. Sebisa mungkin, proyek pendampingan tidak merugikan orang-orang di sekitarku. Aku mendapatkan dispensasi dari pendamping untuk hanya mengikuti pertemuan-pertemuan yang dianggap sangat penting saja mengingat jarak tempat kerja cukup jauh dari Jakarta. Untuk ini aku sangat berterima kasih. Tetapi, karena menurutku setiap pertemuan adalah penting untuk terus mengobarkan api panggilan, aku berjanji mulai Agustus akan mengikuti rekoleksi seturut dengan jadwal yang diberikan.
Rekoleksi pendampingan yang pertama (yang tidak aku ikuti) adalah tentang cara berdoa khas Ignatian. Bahan ini sesungguhnya sangat penting, karena doa ibarat pupuk, untuk menyuburkan hidup religius dan terus menumbuhkan benih panggilan. Selain itu doa menjadi syarat mutlak sebelum diambilnya suatu keputusan. Jika suatu rencana dibawa dalam suasana dan cara berdoa baik, maka keputusan yang diambil akan lebih selaras dengan kehendak Allah sendiri. Bahan ini dikirimkan melalui email. Mungkin karena tidak mendapatkan bimbingan secara langsung, aku masih kurang memahami doa meditasi dan kontemplasi ala Ignatian ini. Mengenai hidup doaku sendiri, aku sebelumnya sudah mulai lebih teratur menulis refleksi dari bacaan Kitab Suci dan doa harian. Maka selanjutnya aku mencoba secara teratur mempraktikkan cara doa dari bahan pertemuan pertama ini.
Menulis sejarah hidup, sebagai tugas pada pertemuan bulan Maret di Panti Samadi, menjadi pergulatan tersendiri bagiku. Kusadari bahwa banyak hal yang tidak baik dalam kehidupan masa laluku. Dan, aku ditantang untuk jujur pada diri sendiri. Setelah mendoakan bahan ini, aku berketetapan untuk menggenapi tugas ini. Masa lalu adalah bagian tak terpisahkan dari diriku, mengingkarinya berarti mengingkari diri sendiri. Masa laluku juga penuh kenangan dan pengalaman indah. Mungkin dengan menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa hidup masa laluku, aku akan lebih lagi menemukan karya dan peranan Tuhan dalam hidupku. Penulisan sejarah hidup akan menjadi kegiatan yang sangat menarik.
Bertitik tolak dari penulisan sejarah hidup, aku diarahkan untuk meneliti sapaan dan panggilan Tuhan dengan menulis sejarah hidup panggilan. Bahan ini untuk pertemuan ketiga, namun aku sudah mendapatkannya di pertemuan kedua karena aku tidak akan menghadiri rekoleksi pendampingan di bulan April itu. Namun, bahan ini baru aku baca setelah penulisan sejarah hidupku selesai. Menulis sejarah hidup panggilan bagiku tidak mudah, karena panggilan Tuhan bagiku tersamar. Aku harus lebih dalam lagi masuk ke dalam pengalaman dan peristiwa masa lalu yang meyakinkanku bahwa Tuhan memanggilku untuk hidup sepenuh-penuhnya mengikut Dia. Tuhan tidak berkomunikasi padaku selayaknya atasanku memberi instruksi tertentu kepadaku. Sapaan dan panggilan-Nya bagiku lebih dinyatakan melalui pengalaman hidup, peristiwa, perjumpaan dengan orang lain, perasaan dan reaksi batin.
Civita Youth Camp, minggu ketiga bulan Mei. Bersama rekan prompang yang lain dan juga dua prompang angkatan sebelumnya yang sudah diterima untuk memulai pembinaan di Novisiat Girisonta, kami dihadapkan pada pertanyaan tentang siapakah Yesus yang memanggil itu secara personal bagi diri kami. Aku sadar sesungguhnya aku belum mempunyai hubungan yang sungguh intim dengan Tuhan. Kekurangtekunanku dalam hidup doa selama ini digantikan dengan bacaan Kitab Suci harian dan buku-buku rohani. Mungkin juga dalam doa-doaku aku lebih banyak berbicara dengan diri sendiri, bukannya memusatkan diri kepada Allah sendiri. Sekarang aku harus mendefinisikan Tuhan dalam pengalaman perjumpaanku dengan-Nya secara pribadi. Betapa aku masih harus banyak belajar bagaimana berdoa dan lebih lagi bertekun di dalamnya.
Minggu ketiga Juni, aku tidak jadi mengikuti rekoleksi karena ada masalah di tempat kerja. Bahan untuk pertemuan kali ini; Ignatius yang kukenal, dikirimkan oleh pendamping melalui pos. Aku belajar mengenal tindakan konkret St. Ignatius dalam mengikuti Yesus, spiritualitas Ignatian, kemudian menuju pada Asas dan Dasar. Tujuan hidupku telah menjadi jelas, bahwa aku diciptakan untuk memuji, menghormati serta mengabdi Allah. Namun kemudian aku harus mencari, menemukan, memilih dan melaksanakan tujuan hidup itu dalam sarana konkret seturut dengan kehendak Tuhan. Spiritualitas Ignatian menawarkan jalan untuk mencari dan menemukan kehendak Allah tersebut. Lagi-lagi, berlatih berdoa dengan tekun dan membuat refleksi menjadi hal yang mutlak.
Medio Agustus 2009, setelah makin mengenal diri, mengenal Kristus dan mengenal St. Ignatius, aku dihadapkan pada tawaran untuk berkomitmen dalam kaul. Ada rasa takut dan gentar karena di depanku ada begitu banyak tantangan, godaan dan kesempatan untuk ingkar. Tetapi dalam refleksiku, aku menemukan bahwa melalui sarana-sarana itulah aku lebih mampu mendekatkan diri pada tujuan aku diciptakan. Dan juga dengan sarana-sarana itu aku merasa lebih mampu mewujudnyatakan kerinduanku sebagaimana tujuan Serikat yang tertulis dalam Formula Institusi; untuk memajukan hidup Kristiani, menyuburkan hidup iman, melalui pelayanan Sabda Allah, dan karya amal kasih. Hal tentang kemiskinan dan ketaatan aku yakini akan lebih mampu aku jalani, namun untuk hal kemurnian aku harus sangat berhati-hati. Maka, dari pihakku berusaha tidak memberi peluang masuknya godaan-godaan yang dapat membuatku jatuh. Rahmat Tuhan aku mohonkan agar aku mampu setia pada komitmen trikaul yang kupilih dengan kehendak bebas ini.
September 2009, genap satu tahun aku menggumuli semangat dan kemudian cara bertindak St. Ignatius. Aku diajak melihat peluang pengabdian kepada Kristus dan Gereja-Nya dalam sarana sebagai rasul awam. Mana yang lebih sesuai dengan kapasitasku sehingga lebih efektif. Mana yang lebih membahagiakan sehingga dapat kujalani dengan baik. Mana yang lebih berguna demi lebih besarnya kemuliaan Tuhan. Dan, walaupun aku memandang sarana tersebut adalah sama baiknya dengan hidup religius, aku melihat diriku akan lebih mampu memuliakan Tuhan dan berguna bagi keselamatan diri dan sesama dengan bekerja dan mengabdi Kristus dan Gereja-Nya secara penuh dan total. Maka, aku memilih maju terus dalam panggilan ini, terus berlatih untuk lepas bebas, dan terus mengupayakan apa saja yang diperlukan demi penggilan ini. Kiranya terjadi seturut kehendak Tuhan.
Pilihan mengabdi Allah secara penuh itu berarti memilih salib, demikian penegasan pada pertemuan selanjutnya di bulan Oktober. Menjadi Jesuit berarti mengabdikan diri pada Yesus yang memanggul salib. Beban salib yang dipanggul mungkin lebih berat dibanding pilihan-pilihan sarana pengabdian yang lain. Ini jelas bukan mudah, karena akan dibutuhkan tenaga lebih besar, kerja lebih keras, dan kesiapsediaan akan ketidaknyamanan dan ketidakamanan. Aku teringat dalam komentar atas Roma 3:21-31, bahwa orang harus lebih percaya dari pada berusaha. Penutup bahan doa rekoleksi kali ini menegaskan akan hal tersebut. Credo Pugno! Aku percaya maka aku berjuang.
Pagi hari, 29 November 2009, aku sudah membuat suatu pemetaan panggilan, mendaftar pro dan kontra, nilai-nilai positif dan negatif, kelebihan dan kekurangan, hal-hal yang mendukung maupun yang menghambat, jika aku terus melangkah menuju penegasan atau memilih jalan yang lain. Aku mencoba dengan cermat melihat kondisi diriku; usia, kemampuan belajar, kondisi orang tua, kesehatan, pekerjaan, kemampuan adaptasi, pendidikan, penghayatan akan trikaul, kemampuan bekerja sama, hidup doa, pandangan terhadap Gereja, pandangan terhadap St. Ignatius, dan beberapa aspek lainnya. Consideratio Status, demkianlah aku mencoba melihat jenis tanahku. Aku juga merenungkan kontribusi apa yang dapat aku sumbangkan bagi Serikat jika diterima. Walaupun ada banyak kekuranganku, aku memilih untuk mengikuti retret penegasan dan jika diperkenankan, mengikuti solisitasi. Tim Prompang belum mengambil keputusan apakah kami boleh ikut penegasan atau tidak. Keputusan akan diberitahukan kemudian. Jadi, aku tinggal menunggu pemberitahuan itu.
16 Desember 2009, datang pesan singkat dari Fr. Lesnanto (Koordinator Tim Prompang Jakarta) yang memberitahukan bahwa aku terus ke retret penegasan. Dia memintaku agar mempersiapkan diri, mengumpulkan buah-buah pendampingan dan memperdalam hal-hal yang disarankan pendamping. “Biarlah Tuhan selalu menuntun kita di dalam jalan-Nya!” Demikian ia menutup pesan singkatnya. Terus terang, ada kegamangan sebelum pemberitahuan ini. Kalau dipanggil untuk penegasan, aku merasa persiapanku masih compang-camping. Kalau tidak diperkenankan mengikuti penegasan, aku merasa absurd saja segala yang telah kujalani. Tapi aku tidak ingin terpuruk dalam perasaan-perasaan mausiawi seperti itu. Terus berupaya di satu sisi dan berserah pada-Nya di sisi lain, fokus pada Asas dan Dasar, terus memurnikan motivasi dan memelihara sikap lepas bebas, demikian prinsip-prinsip yang harus senantiasa kuhidupi. Pesan singkat itu memberi kegairahan sekaligus penyadaran bahwa aku harus terus maju dalam hidup rohani.
Penegasan dan Solisitasi
Retret Penegasan diadakan di Mertoyudan, 14 s/d 17 Januari 2010. Rm. Gandhi yang memberikan briefing meminta kami agar dalam doa-doa selama retret memohon terang Roh Kudus supaya pemilihan dan keputusan yang diambil sungguh merupakan kehendak Tuhan bagi hidup kami. Pembimbing retret adalah Rm. Guido. Ia membeberkan tujuan penegasan ini adalah mengambil keputusan untuk solisitasi atau tidak. Untuk itu kami perlu yakin akan jalan ini, memahami kehendak Alah, menetapkan keputusan dan memperoleh peneguhan. Aku dibimbing untuk menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah hidupku, memeditasikan dan mengkontemplasikan perikop-perikop Kitab Suci yang membawaku untuk memahami peran aktif Allah dalam karya keselamatan manusia dan diriku sendiri, merasakan kembali sapaan-Nya yang unik dan personal dalam sejarah hidup panggilan, dan merefleksikan bagaimana relasiku dengan Allah sejauh ini. Asas dan Dasar kembali menjadi bahan doa, yang kemudian dilanjutkan dengan perikop Injil yang menegaskan bahwa mengikut Kristus bukan jalan yang aman dan mudah, namun mendatangkan risiko dan konsekuensi yang berat.
Malam terakhir retret penegasan adalah membuat electio. Sebelumnya ditegaskan bahwa suatu keputusan penting tidak boleh diambil jika seseorang dalam kesedihan rohani (desolasi). Keputusan itu hendaknya dibuat pada saat seseorang dalam konsolasi (kegembiraan rohani). Seperti saat menentukan jenis tanahku, kali ini juga aku perlu membuat pendaftaran; pro dan kontra jika melanjutkan, juga pro kontra jika tidak melanjutkan. Doa kontemplasi pagi harinya diambil dari Lukas 24:13-35, tentang penampakan Yesus pada dua murid di Emaus. Ada perasaan luar biasa yang sulit dilukiskan dalam kontemplasi ini, yang membawaku pada peneguhan sekaligus ketenangan. Aku memilih dengan segenap jiwa, hati dan pikiran untuk maju ke solisitasi.
“Tetap persiapkan diri dengan serius fisik dan mental, tetap semangat dan lepas bebas, ingat Asas dan Dasar!” Demikian pesan singkat Fr. Didik. Aku sudah memperoleh kepastian untuk maju ke solisitasi dan oleh karena pertimbangan demi kepentingan keluarga sudah memutuskan mengambil semacam pensiun dini dari tempatku bekerja. Pengunduran diri dari pekerjaan per 1 Februari memberi waktu bagiku untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tak cukup percaya diri terhadap potensi akademik, ketajaman intelektual dan juga stamina fisikku. Sehat secara fisik, tajam secara intelektual serta kehendak yang kuat, kiranya mutlak dipunyai para kandidat Serikat Jesus. Dalam hal ini kukira aku mempunyai semangat dan kehendak yang kuat saja.
“Come dan Follow Me!” Tema solisitasi 2010 mengutip panggilan Tuhan Yesus pada para murid-Nya yang pertama. Ya, aku datang, Tuhan, untuk mengikuti panggilan-Mu. Untuk pertama kalinya aku merasakan dinamika hidup di novisiat; doa, opera, makan siang resmi, corona, misa harian, dsb. Kesan terhadap para frater novis primi cukup positif. Rasa hati ini antara kikuk dan bersemangat. Maka rahmat yang dimohon adalah tepat; ketenangan akal dan budi agar mampu memahami dinamika solisitasi sehingga tahap penting ini dapat dijalani dengan baik. Ada 17 solisitan, 15 dari seminari dan 2 dari promosi panggilan. Aku menjadi kandidat paling berumur. Fr. Dani menjadi angelus yang menjadi pendampingku selama solisitasi.
26 Februari 2010. Agenda penting hari itu adalah wawancara dengan Rm. LA Sardi dan Rm. S. Suyitna. Isinya kurang lebih mirip dengan wawancara-wawancara yang dilakukan selama pendampingan intensif. Sejarah hidup, sejarah panggilan, moment-moment yang menjadi titik panggilan, situasi keluarga dan alasan mengapa memilih Serikat Jesus. Sebuah penekanan, semangatku yang besar jangan sampai membuatku kecewa jika tidak diterima. Kusampaikan pada examinator, bahwa aku siap apa pun hasil dari solisitasi ini. Hari berikutnya adalah wawancara dengan Rm. Padma. Begitu ringan dan mengesankan. Aku tak harus bicara yang berat-berat, malah banyak hal tentang dunia kerjaku sebelumnya ditanyakannya padaku. Itu semua untuk menghubungkanku dengan kontribusi yang bisa aku berikan jika menjadi Jesuit.
Hari-hari berikutnya, selain tetap menjalani dinamika hidup di novisiat, diisi dengan tes masuk STF Driyarkara, USD dan wawancara dengan Rm. Paul Suparno. Dari materi tes IPS aku menjadi sadar betapa pengetahuan umumku demikian buruk. Di sisi lain, wawancara dengan Rm. Paul ternyata tidak semenakutkan yang disharingkan para novis primi. Justru bagiku wawancara ini menjadi penutup yang indah, apa pun hasilnya. Satu hal yang baik sekali bagiku adalah, selalu ada kegembiraan tak terkira setiap selesai mengikuti proses panggilan Serikat Jesus, baik itu sekadar perbincangan, retret, rekoleksi, sampai pada solisitasi. Aku selalu pulang dengan api semangat yang berkobar dalam hati. Sungguhkah Roh Kudus telah bekerja, memberikan api cinta-Nya bagi pendosa yang (merasa) dipanggil ini?
Tanjung Karang Timur, lewat siang, 27 Maret 2010. Tukang pos datang dan menanyakan namaku. Kakak perempuanku sontak meneriakkan namaku, menyambut surat itu dengan gemetar, dan membuat tanda salib. Apakah perjalanan panggilanku terhenti di situ? Ternyata tidak. Aku diterima, namun keputusan tersebut baru berlaku efektif setelah aku mendapatkan surat keterangan sehat.
Penutup
Bagaimana akan aku gambarkan proses perjalanan panggilan ini? Panggilan itu 100% rahmat dan 100% usaha manusia. Terlepas dari segenap daya yang telah aku upayakan dari pihakku, rahmat Tuhanlah yang membuatku sampai pada tahap ini. Maka, melihat dan menghadirkan kembali peta perjalanan panggilan ini, hatiku dipenuhi dengan kekaguman, pujian dan syukur kepada Tuhan. Ada banyak hal yang sungguh aku syukuri; perjalanan Sumatera Selatan – Jakarta yang seringkali melelahkan dan kurang bisa aku nikmati (namun dapat jua kujalani), aneka perjumpaan dan sharing yang penuh kesan (dengan para pendamping maupun sesama prompang), moment-moment agung saat retret maupun rekoleksi, bimbingan para pendamping, latihan doa, wawancara dengan pembesar Serikat, dukungan keluarga, dan yang paling mengagumkan, adalah penyelenggaraan ilahi-Nya yang membawaku pada pengalaman-pengalaman itu. Bagaimanapun hasil tes kesehatan beberapa hari lagi itu, aku bersyukur pada Allah boleh menjalani dan mengalami itu semua. Sungguh semua dijadikan-Nya baik adanya. Sungguh amat baik semua yang Tuhan ijinkan untuk aku alami.
Civita Youth Camp, 2 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar