Senin, 20 September 2010

RETRET PANGGILAN 2011

Teman-teman, kabar gembira bagi kita semua. Serikat Yesus Provinsi Indonesia akan mengadakan Retret Panggilan 2011 pada bulang Januari 20011. Bagi kalian laki-laki muda, sedang bekerja atau mahasiswa tingkat akhir, penuh semangat untuk bekerja melayani Tuhan, daftarkanlah diri kalian untuk mencari kehendak Tuhan!

Hubungi kami di prompangsj@gmail.com

Jumat, 17 September 2010

Di Bawah Bayangan Istana Kerajaan (1506-1517)

Teman-teman yang terkasih dalam Kristus, kami ingin melanjutkan cerita tentang St. Ignatius dalam masa awal kehidupannya.

Juan Velazquez de Cuellar, menteri perpajakan Kerajaan Spanyol, adalah kawan baik Don Beltran, dan istri mereka adalah saudari sepupu. Velazquez juga menjadi kepala rumah tangga Raja, sedangkan Maria Velasco (istrinya) menjadi kepala para pembantu perempuan ratu putri, Germaine de Foix. Suatu hari, Velazquez minta Pangeran Loyola untuk mengirim anak bungsunya, Ignasius, ke rumahnya. Ia tidak hanya akan mendidik Ignasius dan membesarkannya seperti anaknya sendiri, tetapi juga akan menolongnya tenang tenteram dalam hidupnya.

Ignasius kemudian pergi ke rumah Velazquez di kota Arevalo, jauh dari Loyola. Ia tumbuh dewasa, baik fisik maupun mental; ia tinggal bersama keluarga bangsawan ini selama 10 tahun. Dulu putra-putri Loyola juga dididik di lingkungan istana oleh keluarga bangsawan yang masih berhubungan keluarga dengan mereka.

Sejak saat ini, nama Beltran tidak lagi ditemukan dalam dokumen-dokumen keluarga Loyola. Sangat besar kemungkinan ia meninggal setelah keberangkatan anak bungsunya.

Tahap demi tahap, Ignasius mempelajari tata krama dan sopan santun istana. Tugas pokoknya adalah membantu Menteri Perpajakan sebagai semacam sekretaris. Di sinilah ia belajar menulis halus yang ia pertahankan sampai akhir hidupnya. Di sini juga ia lalu mempunyai kebiasaan membaca buku-buku kepahlawanan, buku-buku novel zaman itu. Tata tertib kekesatriaan adalah sejenis sumpah militer yang diucapkan oleh para anggota atau ksatria dalam upacara meriah. Dalam sumpah itu, mereka berjanji untuk membela anak-anak yatim piatu, para janda, berperang melawan ketidakadilan dan menghukum para penjahat.

Setiap kali Raja mengunjungi berbagai kota yang ada, menteri Perpajakan dan Kepala rumah tangga harus ikut bersamanya. Sekretaris menteri Perpajakan juga ikut. Karena acara inilah, Ignasius dapat mengunjungi kota-kota penting dan mengenal orang-orang yang sangat berpengaruh. Ia juga belajar tentang pelayanan pemerintah baik yang ke dalam maupun yang keluar. Di samping itu, belajar berbagai macam hukum dan peraturan-peraturan serta orang-orang yang bertanggung jawab dalam masalah hukum. Demikian sedikit demi sedikit Ignasius memperoleh pendidikan, yang dalam bahasa sekarang disebut manajemen. Kelak pendidikan manajemen ini akan sangat berguna.

Keluarga Velazquez adalah keluarga besar dengan beberapa anak laki-laki dan perempuan. Anak-anak ini didorong untuk sejauh mungkin menjadi pelayan kehormatan di istana dengan gaji pendapatan yang sudah ditetapkan. Meskipun Ignasisus tidak pernah menjadi pelayan istana, ia hidup dan bergerak dalam lingkungan istana dan ia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh istana yang sangat kuat.

Seorang yang tinggal di istana haruslah memiliki iman Kristen yang dalam, setia pada raja, memiliki rasa bangga akan tugas yang diberikan, percaya diri dan mempunyai watak murah hati. Ia juga harus sopan terhadap perempuan. Setiap anak muda laki-laki harus dapat main pedang dan belajar memainkan beberapa alat musik. Ignasius mempelajari semuanya. Tetapi ia berpantang tidak bermain musik pada hari Jumat untuk menghormati sengsara Tuhan dan pada hari Sabtu untuk menghormati Bunda Maria. Yang terpenting baginya ialah tidak akan pernah berkata bohong, atau tidak akan menggunakan nama Tuhan untuk bersumpah.

Sayang sekali, Ignasius pelan-pelan mengambil sifat dan tingkah laku yang tidak terpuji. Ibaratnya suatu lapisan tebal debu istana melekat pada diri anak muda dari gunung ini. Kesombongan, kebanggaan, dan hasrat untuk meraih keagungan dan kenikmatan segera menjadi faktor yang menggerakkan hidupnya. Ia senang dengan kehidupan tentara; ia memamerkan pedangnya, dan senang sekali berkelahi serta terlalu menonjolkan diri. Ia sangat menaruh perhatian bagaimana berpakaian bagus, dan secara khusus ia memelihara rambutnya yang panjang. Kecuali itu, ia sangat gemar merayu perempuan-perempuan cantik.

Maria Velasco sering menasihati Ignasius, tetapi nasihatnya tidak pernah digubris dan suatu hari Maria Velasco dengan sangat jengkel berkata kepada Ignasius, "Ignasius, kamu tidak akan pernah mempunyai pengertian yang mendalam atau maju berkembang sampai seseorang mematahkan kakimu." Kata-kata ini ternyata mengandung ramalan masa depan Ignasius.

Pada umur dua puluh tahunan, pada masa Ignasius mengejar kemahsyuran, ia sangat cemas karena orang-orang dengan hati-hati menjauhinya. Tentu saja hal ini melukai harga dirinya, karena ada bau busuk dari hidungnya, suatu penyakit yang tidak ada obatnya pada waktu itu. Ia mendatangi semua dokter dan mencoba semua obat yang mungkin, khususnya menyemprot hidungnya dengan air dingin. Akhirnya, bau busuk itu hilang dengan sendirinya.

Dalam tahun 1515 selama kunjungannya ke Loyola, sifat pemberani Ignasius mendatangkan masalah berat. Pada waktu karnaval, Ignasius dan seorang saudaranya laki-laki melakukan tindak kejahatan. Masalahnya tidak begitu jelas. Masalah ini lalu dibawa ke pengadilan, tetapi para terdakwa berhasil mendiamkan masalahnya. Kejadian ini membuka mata Ignasius akan kenyataan-kenyataan pahit yang segera datang: pertempuran berdarah dan kemenangan yang terlalu banyak makan korban. Untunglah nama harumnya tidak jatuh atau lebih tepatnya belum.

(bersambung...)

Senin, 28 Juni 2010

Rumah Para Ksatria

Rekan-rekan muda pencinta Kristus yang sedang mencari jalan hidup, selamat berjumpa kembali. Prompang Serikat Jesus kembali menyapa teman-teman setelah sempat absen beberapa lama. Kami ingin memulai menceritakan kisah Ignatius dari Loyola, pendiri Serikat Jesus untuk teman-teman sekalian. Semoga kisahnya menjadi inspirasi dan membawa semangat bagi teman-teman untuk semakin mantap mengikuti Kristus. Tentu saja, kami juga mengucapkan terima kasih kepada Penerbit Percetakan Kanisius yang bukunya boleh kami 'bajak' untuk dibagikan kepada para pembaca.

Pada bagian pertama ini, kami ingin mengambil bab pertama dari buku Lahir Untuk Berjuang karangan Albert Jou S.J. Pada bab pertama yang berjudul Rumah Para Ksatria, diceritakan periode kehidupan Ignatisu pada tahun 1491-1506.

Ignatius terlahir sebagai orang Bask. Orang Bask merupakan bangsa Spanyol (yang saat ini sedang masuk 16 besar Piala Dunia 2010). Orang Bask memiliki pusat yang diberi nama lembah Iraurgi yang terletak 50 kilometer dari San Sebastian di sebelah Utara Spanyol. Lembah ini amat indah, diselimuti salju di musim dingin dan hijau dedaunan di musim yang lain.

Bangsa Bask memiliki keunikan. Mereka adalah orang-orang yang kuat dan terhormat, pemberani, suka berpetualang, gemar menyanyi, menari, dan olah raga yang sulit. Mereka adalah pekerja keras dan bebas merdeka, cepat dalam memperjuangkan hak-hak mereka, dengan tanggung jawab yang sama terhadap orang lain. Kebanyakan orang Bask menjadi petani, prajurit, dan pelaut.

Di tengah lembah Iraurgi, berdirilah puri Loyola di tepi sebuah sungai. Puri tersebut memiliki rumah induk yang disebut sebagai 'rumah suci'. Meskipun diberi nama 'rumah suci', ternyata penghuninya dianggap 'tidak suci'. Penghuninya, yaitu keluarga Loyola, adalah keluarga bangsawan yang paling dibenci karena senang berperang. Dua serigala yang merupakan lambang keluarga Loyola menunjukkan keserakahan para penghuninya.

Puri keluarga Loyola adalah rumah tinggal sekaligus benteng militer. Separuh rumah keluarga Loyola bagian bawah bertembok marmer yang kokoh, sedangkan separuh yang atas terbuat dari batu bata coklat kemerah-merahan. Keempat sudut puri memiliki meriam untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Puri ini dikelilingi oleh pohon kastanya dan pohon-pohon apel.

Pada tahun 1491, di puri Loyola lahirlah seorang anak bernama Inigo yang kita kenal sebagai St. Ignatius Loyola. Inigo memili 7 kakak laki-laki dan 5 perempuan. Karena ibunya tidak begitu sehat, Inigo diasuh oleh perawat tetangganya. Ibunya yang bernama Dona Marina meninggal saat Inigo masih berusia 5 atau 6 tahun. Posisi Dona Marina diambil alih oleh Magdalena, istri dari Martin yang menjadi pewaris puri Loyola. Magdalena pernah menjadi pembantu ratu Isabella.

Ketika masih kecil, Ignatius banyak mendengarkan cerita tentang leluhurnya. Sesudah berdoa rosario dan berdoa malam, Pangeran Loyola yang bernama Don Beltran akan mengisahkan cerita tentang orang-orang yang baru saja mereka doakan.

Inigo mendengan cerita tentang kakeknya yang karena suatu pertengkaran harus dihukum dengan cara dikirim ke sebelah selatan Spanyol untuk berperang melawan bangsa Moors. Ketika telah kembali, dijumpainya sebagian besar puri tempat tinggalnya hancur. Dia diizinkan membangunnya kembali tetapi hanya dengan batu bata.

Cerita yang mungkin paling disukai Ignatius adalah cerita tentang 7 bersaudara Loyola. Diceritakan bahwa 150 tahun yang lalu, dalam suatu pertempuran, Pangeran Loyola dan saudara-saudaranya berhasil mengalahkan musuh-musuh raja yang jauh lebih besar jumlahnya. Sebagai hadiah, masing-masing ketujuh bersaudara diperbolehkan menambahkan 7 garis lambang kepangkatan pada jaket militer mereka.

Ada pula cerita menarik tentang hari-hari ketika kakak-kakak laki-lakinya pulang kembali dari aksi militer mereka. Sebagai contoh adalah kembalinya kakak sulungnya dari pelayaran ke Amerika. Kapal yang ditumpanginya adalah bagian armada Columbus. Empat saudara laki-lakinya pergi berperang di bawah komando para jenderal yang terkenal. Mereka kembali dengan membawa berbagai hadiah untuk adik-adiknya dan mengisahkan cerita-cerita tentang tempat-tempat dan orang-orang yang telah mereka lihat serta pertempuran mereka.

Tetapi ada waktu-waktu sedih seperti ketika empat saudaranya pergi berperang dan tidak pernah kembali lagi.

Ayah Inigo menyerahkan Inigo kepada bimbingan seorang imam yang memberikan kepadanya pendidikan dasar. Jika pelajaran telah selesai, Ignasius berlari-lari bermain di padang rumput, memanjat pohon, memetik apel, atau mencari sarang burung.

Inigo menemani ayahnya mengunjungi sanak saudara dan tanah pertanian serta peternakan domba milik keluarga. Dengan bepergian dan melihat sendiri banyak hal, ia belajar banyak tentang kehidupan nyata. Ia juga belajar menyanyi dan menari.

Inigo tumbuh dewasa, tetapi tinggi badannya tidak seperti yang diharapkan ayahnya. Pada usia 15 tahun, ia dianggap terlalu pendek. Meskipun amat sehat, ia tidak pernah tertarik untuk menjadi tentara. Mungkin itulah sebabnya ayah Inigo mendorongnya untuk menjadi imam seperti kakaknya. Meskipun namanya telah terdaftar sebagai calon imam, ia tidak pernah memakai pakaian klerik atau menunjukkan kecenderungan untuk hidup membiara.

Tiba-tiba datanglah bagi Ignasius suatu kesempatan yang tak terduga. Rupanya baik kalau kesempatan itu tidak dibiarkan berlalu. Lagipula suatu generasi baru (anak-anak Martinus dan Magdalena) juga tinggal di puri. Cepat atau lambat Ignasius harus pergi.

(bersambung)

Sumber: Lahir Untuk Berjuang. Penulis: Albert Jou S.J. Hak Cipta: Kanisius 1991

Minggu, 16 Mei 2010

Indah Pada Waktunya

















Sebuah cerita yang bisa kita renungkan bersama sembari menjalani rutinitas harian. Cerita ini kami ambil dari teks misa Gereja Theresia, Jakarta.

Ketika aku masih kecil, waktu itu ibuku sedang menyulam sehelai kain. Aku yang sedang bermain di lantai melihat ke atas dan bertanya, apa yang ia lakukan.

Ia menerangkan bahwa ia sedang menyulam sesuatu di atas sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yang kulihat dari bawah adalah benang ruwet.

Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan lembut, "Anakku, lanjutkanlah permainanmu, sementara ibu menyelesaikan sulaman ini; nanti setelah selesai, kamu akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas."

Aku heran, mengapa ibu menggunakan benang hitam dan putih, begitu semrawut menurut pandanganku.

Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara ibu memanggil, "Anakku, mari ke sini dan duduklah di pangkuan ibu."

Waktu aku lakukan itu, aku heran dan kagum melihat bunga-bunga yang indah, dengan latar belakang pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tidak percaya melihatnya, karena dari bawah yang kulihat hanyalah benang-benang yang ruwet.

Kemudian ibu berkata, "Anakku, dari bawah memang nampak ruwet dan kacau, tetapi engkau tidak menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah pola, ibu hanya mengikutinya. Sekarang, dengan melihatnya dari atas, kamu dapat melihat keindahan dari apa yang sudah ibu lakukan."

Seiring selama bertahun-tahun, aku melihat ke atas dan bertanya kepada Tuhan, "Tuhan, apa yang Engkau lakukan?"

Ia menjawab, "Aku sedang menyulam kehidupanmu."

Dan aku membantah, "Tetapi nampaknya hidup ini ruwet, benang-benangnya banyak yang hitam, mengapa tidak semuanya memakai warna yang cerah?"

Kemudian Tuhan menjawab, "Anakku, kamu teruskan pekerjaanmu dan Aku juga menyelesaikan pekerjaan-Ku di bumi ini. Suatu saat nanti, Aku akan memanggilmu ke surga dan mendudukkanmu di pangkuan-Ku dan kamu akan melihat rencana-Ku yang indah dari sisi-Ku."

Minggu, 09 Mei 2010

Refleksi Seorang Teman













Martinus Dam F. Nama panggilannya Dam. Sosoknya kurus dan tenang. Selama setahun, Dam mengikuti pendampingan Prompang Jakarta dan pada tahun 2010 memberanikan diri untuk mendaftar. Paskah kemarin menjadi saat yang membahagiakan baginya karena dia diterima sebagai novis dalam Serikat Jesus. Berikut ini Dam ingin membagikan refleksi perjalanan pencarian panggilannya.

Gereja Katedral Kristus Raja Tanjung Karang, pada suatu waktu yang aku sudah lupa kapan persisnya. Menjadi kebiasaanku untuk melihat papan pengumuman segera setelah misa kudus, di gereja manapun itu. “Anda pria lajang Katolik? Sedang mencari makna kehidupan yang lebih dalam? Ingin hidup alternatif yang mendalam dan menantang?”

Demikian bunyi pertanyaan-pertanyaan pada salah satu brosur yang tertempel di situ. Dan batinku menjawab; “Ya!” untuk semua itu. Kalimat-kalimat selanjutnya lebih menarik lagi; pandangan-pandangan luar yang keliru, pendosa tapi dipanggil, pelayan perutusan Kristus, menjawab kebutuhan dunia dan Gereja secara lebih penuh dan efektif demi kemuliaan Allah yang lebih besar, dsb. Maka, kucatat nomor telepon yang tertera dengan suatu ketetapan dalam hati pada suatu waktu nanti aku akan menghubungi nomor promosi panggilan ordo itu.

Perjalanan Awal

Memang, setelah beberapa waktu bekerja, hasrat terpendam untuk hidup alternatif, yaitu hidup sepenuh-penuhnya mengabdi Kristus melalui Gereja-Nya makin besar saja. Aku mengamati dalam diriku bahwa kegiatan-kegiatan kegerejaan selalu lebih membuatku bahagia daripada semua pekerjaan dan kegiatan yang lain. Aku makin menikmati Ekaristi dan selalu bergairah melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk lebih majunya Gereja kami. Aku makin mencintai Gereja dan rindu untuk berbuat sesuatu yang lebih baginya. Namun, kontak terakhir dengan bapa rohaniku, seorang imam OSC, agak membuatku surut. Aku berpikir sudah terlalu berumur dan jangan-jangan hanya akan memberatkan tarekat yang aku masuki nanti.

Penghujung Agustus 2008, aku menyelesaikan wajib kerjaku setelah lima tahun bekerja. Saatnya bagiku menentukan sikap untuk hidupku selanjutnya. Maka, di tengah rasa tidak pantasku, kuberanikan diri untuk menghubungi nomor yang masih kusimpan. Suara di seberang adalah Fr. Sigit Sukariadi, yang menanggapi dengan ramah dan antusias. Demikianlah untuk kali pertama aku berbincang dengan seorang Jesuit. Sebelumnya tokoh-tokoh Jesuit kukenal dalam tulisan-tulisan dan kiprah mereka dalam Gereja dan kemanusiaan. Pertama via telepon, lalu dilanjutkan dengan perbincangan secara langsung beberapa hari sesudahnya.

Dari perbincangan ini aku mendapatkan banyak informasi berkaitan dengan Ordo Serikat Jesus. Aku baru mengetahui betapa bapa pendiri serikat ini mempunyai pengalaman religius yang begitu kuat. Aku yang kurang akrab dengan askese agak ciut juga saat mendengar kisah pertobatan dan perjalanan rohani St. Ignatius Loyola. Aku disadarkan bahwa jalan untuk bisa diterima dan menjadi Jesuit tidaklah mudah. Frater ini menyarankan agar aku juga melihat kemungkinan untuk masuk ke tarekat atau ordo religius yang lain. Satu hal untuk diingat, bahwa Tuhanlah yang memanggil dan manusia memantaskan diri. Aku pulang dengan membawa sebuah buku tentang 9 tokoh Jesuit. Kata-kata Pedro Arrupe yang menutup buku itu, diantaranya bahwa Jesuit adalah manusia untuk manusia memberi kesan yang mendalam bagiku.

Perjumpaan kedua dengan Fr. Sigit adalah di akhir November, suatu perjalanan cuti yang bagiku di luar dugaan. Dari situ mungkin Fr. Sigit melihat keseriusanku sehingga aku mendapatkan rekomendasinya untuk mengikuti retret awal di pertengahan Januari tahun 2009. Tiga buah buku Seri Ignatian dipinjamkannya padaku. Aku juga dikenalkan dengan Asas dan Dasar. Membaca kisah peziarahan hidup, pertobatan, penghayatan iman, pikiran dan kehendak kuat St. Ignatius membuat perasaanku bercampur baur; antara rasa tawar dan semangat berkobar dalam hati. Nyala api semangat yang kian tumbuh dalam diriku karena kisah hidupnya yang inspiratif diperhadapkan dengan kerapuhan-kerapuhan manusiawiku. Siapakah aku sehingga merasa telah Dia panggil untuk menjadi pelayan perutusan-Nya?

Medio Januari 2009, bus Rosalia Indah membawaku ke Girisonta. Aku tak paham peta Jawa Tengah, dan ini menjadi perjalanan kali pertamaku ke Ungaran. Pesan Frater adalah; jangan sampai tertidur agar tidak terlewat, Gereja Girisonta ada di pinggir jalan besar, semua kondektur sudah paham. Di sepanjang perjalanan aku memikirkan apa yang akan kuhadapi di sana. Aku belum pernah berkunjung ke biara atau seminari mana pun sebelumnya. Aku juga tidak tahu apa dan bagaimana retret awal itu. Tapi satu hal menjadi peganganku, aku mau berjuang menanggapi panggilan ini, entah apa pun hasilnya.

Silentium magnum, demikian suasana yang dibangun selama retret empat hari tiga malam di Ambarawa. Sungguh mempesona ternyata keheningan itu. Tidak adanya interaksi antar retretan membuat kami tidak mempunyai pilihan lain, selain berhadapan dengan diri sendiri, lalu mencoba mendengar suara Allah berbicara di kedalaman hati kami. Keheningan menjadi modal untuk melihat kembali sejarah hidup dan memperoleh disposisi batin. Melalui pikiran jernih dan perasaan hati yang diolah dalam suasana doa, ke mana kehendak diarahkan? Walaupun doa-doa serta refleksiku mungkin jauh dari bermutu, tapi aku mengalami suatu perasaan bahagia dan tentram. Hasilnya, dari pihakku siap untuk meneruskan proyek panggilan ini dalam pendampingan intensif . Dari pihak Tim Promosi Panggilan, dalam hal ini Frater Didik (Budi Harsanto), siap mendampingi dan menjadi pembimbingku. Panggilan itu 100 % rahmat dan 100 % usaha manusia, sebuah pernyataan yang mengingatkanku kembali bahwa di satu sisi aku percaya dan menyerahkan hasilnya pada Tuhan, tetapi di sisi yang lain aku harus mencurahkan segenap daya manusiawiku untuk menanggapi panggilan-Nya.

Pendampingan Intensif

Mungkin karena agak terlalu bersemangat, aku tak terlalu memikirkan perjalanan yang bakal cukup melelahkan dan mahal bagiku, yaitu Sumatera Selatan (tempat kerja) – Jakarta (tempat rekoleksi), tiap dua bulan dan bahkan kemudian sebulan sekali. Aku harus mengatur keuangan, menjadwal waktu cuti, dan mengompromikannya dengan atasan serta rekan kerja. Bagiku itu adalah bagian yang harus kujalani dengan berbagai konsekuensi yang menyertainya. Sebisa mungkin, proyek pendampingan tidak merugikan orang-orang di sekitarku. Aku mendapatkan dispensasi dari pendamping untuk hanya mengikuti pertemuan-pertemuan yang dianggap sangat penting saja mengingat jarak tempat kerja cukup jauh dari Jakarta. Untuk ini aku sangat berterima kasih. Tetapi, karena menurutku setiap pertemuan adalah penting untuk terus mengobarkan api panggilan, aku berjanji mulai Agustus akan mengikuti rekoleksi seturut dengan jadwal yang diberikan.

Rekoleksi pendampingan yang pertama (yang tidak aku ikuti) adalah tentang cara berdoa khas Ignatian. Bahan ini sesungguhnya sangat penting, karena doa ibarat pupuk, untuk menyuburkan  hidup religius dan terus menumbuhkan benih panggilan. Selain itu doa menjadi syarat mutlak sebelum diambilnya suatu keputusan. Jika suatu rencana dibawa dalam suasana dan cara berdoa baik, maka keputusan yang diambil akan lebih selaras dengan kehendak Allah sendiri. Bahan ini dikirimkan melalui email. Mungkin karena tidak mendapatkan bimbingan secara langsung, aku masih kurang memahami doa meditasi dan kontemplasi ala Ignatian ini. Mengenai hidup doaku sendiri, aku sebelumnya sudah mulai lebih teratur menulis refleksi dari bacaan Kitab Suci dan doa harian. Maka selanjutnya aku mencoba secara teratur mempraktikkan cara doa dari bahan pertemuan pertama ini.

Menulis sejarah hidup, sebagai tugas pada pertemuan bulan Maret di Panti Samadi, menjadi pergulatan tersendiri bagiku. Kusadari bahwa banyak hal yang tidak baik dalam kehidupan masa laluku. Dan, aku ditantang untuk jujur pada diri sendiri. Setelah mendoakan bahan ini, aku berketetapan untuk menggenapi tugas ini. Masa lalu adalah bagian tak terpisahkan dari diriku, mengingkarinya berarti mengingkari diri sendiri. Masa laluku juga penuh kenangan dan pengalaman indah. Mungkin dengan menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa hidup masa laluku, aku akan lebih lagi menemukan karya dan peranan Tuhan dalam hidupku. Penulisan sejarah hidup akan menjadi kegiatan yang sangat menarik. 

Bertitik tolak dari penulisan sejarah hidup, aku diarahkan untuk meneliti sapaan dan panggilan Tuhan dengan menulis sejarah hidup panggilan. Bahan ini untuk pertemuan ketiga, namun aku sudah mendapatkannya di pertemuan kedua karena aku tidak akan menghadiri rekoleksi pendampingan di bulan April itu. Namun, bahan ini baru aku baca setelah penulisan sejarah hidupku selesai. Menulis sejarah hidup panggilan bagiku tidak mudah, karena panggilan Tuhan bagiku tersamar. Aku harus lebih dalam lagi masuk ke dalam pengalaman dan peristiwa masa lalu yang meyakinkanku bahwa Tuhan memanggilku untuk hidup sepenuh-penuhnya mengikut Dia. Tuhan tidak berkomunikasi padaku selayaknya atasanku memberi instruksi tertentu kepadaku. Sapaan dan panggilan-Nya bagiku lebih dinyatakan melalui pengalaman hidup, peristiwa, perjumpaan dengan orang lain, perasaan dan reaksi batin.

Civita Youth Camp, minggu ketiga bulan Mei. Bersama rekan prompang yang lain dan juga dua prompang angkatan sebelumnya yang sudah diterima untuk memulai pembinaan di Novisiat Girisonta, kami dihadapkan pada pertanyaan tentang siapakah Yesus yang memanggil itu secara personal bagi diri kami. Aku sadar sesungguhnya aku belum mempunyai hubungan yang sungguh intim dengan Tuhan. Kekurangtekunanku dalam hidup doa selama ini digantikan dengan bacaan Kitab Suci harian dan buku-buku rohani. Mungkin juga dalam doa-doaku aku lebih banyak berbicara dengan diri sendiri, bukannya memusatkan diri kepada Allah sendiri. Sekarang aku harus mendefinisikan Tuhan dalam pengalaman perjumpaanku dengan-Nya secara pribadi. Betapa aku masih harus banyak belajar bagaimana berdoa dan lebih lagi bertekun di dalamnya.

Minggu ketiga Juni, aku tidak jadi mengikuti rekoleksi karena ada masalah di tempat kerja. Bahan untuk pertemuan kali ini; Ignatius yang kukenal, dikirimkan oleh pendamping melalui pos. Aku belajar mengenal tindakan konkret St. Ignatius dalam mengikuti Yesus, spiritualitas Ignatian, kemudian menuju pada Asas dan Dasar. Tujuan hidupku telah menjadi jelas, bahwa aku diciptakan untuk memuji, menghormati serta mengabdi Allah. Namun kemudian aku harus mencari, menemukan, memilih dan melaksanakan tujuan hidup itu dalam sarana konkret seturut dengan kehendak Tuhan. Spiritualitas Ignatian menawarkan jalan untuk mencari dan menemukan kehendak Allah tersebut. Lagi-lagi, berlatih berdoa dengan tekun dan membuat refleksi menjadi hal yang mutlak.

Medio Agustus 2009, setelah makin mengenal diri, mengenal Kristus dan mengenal St. Ignatius, aku dihadapkan pada tawaran untuk berkomitmen dalam kaul. Ada rasa takut dan gentar karena di depanku ada begitu banyak tantangan, godaan dan kesempatan untuk ingkar. Tetapi dalam refleksiku, aku menemukan bahwa melalui sarana-sarana itulah aku lebih mampu mendekatkan diri pada tujuan aku diciptakan. Dan juga dengan sarana-sarana itu aku merasa lebih mampu mewujudnyatakan kerinduanku sebagaimana tujuan Serikat yang tertulis dalam Formula Institusi; untuk memajukan hidup Kristiani, menyuburkan hidup iman, melalui pelayanan Sabda Allah, dan karya amal kasih.  Hal tentang kemiskinan dan ketaatan aku yakini akan lebih mampu aku jalani, namun untuk hal kemurnian aku harus sangat berhati-hati. Maka, dari pihakku berusaha tidak memberi peluang masuknya godaan-godaan yang dapat membuatku jatuh. Rahmat Tuhan aku mohonkan agar aku mampu setia pada komitmen trikaul yang kupilih dengan kehendak bebas ini.

September 2009, genap satu tahun aku menggumuli semangat dan kemudian cara bertindak St. Ignatius. Aku diajak melihat peluang pengabdian kepada Kristus dan Gereja-Nya dalam sarana sebagai rasul awam. Mana yang lebih sesuai dengan kapasitasku sehingga lebih efektif. Mana yang lebih membahagiakan sehingga dapat kujalani dengan baik. Mana yang lebih berguna demi lebih besarnya kemuliaan Tuhan. Dan, walaupun aku memandang sarana tersebut adalah sama baiknya dengan hidup religius, aku melihat diriku akan lebih mampu memuliakan Tuhan dan berguna bagi keselamatan diri dan sesama dengan bekerja dan mengabdi Kristus dan Gereja-Nya secara penuh dan total. Maka, aku memilih maju terus dalam panggilan ini, terus berlatih untuk lepas bebas, dan terus mengupayakan apa saja yang diperlukan demi penggilan ini. Kiranya terjadi seturut kehendak Tuhan.

Pilihan mengabdi Allah secara penuh itu berarti memilih salib, demikian penegasan pada pertemuan selanjutnya di bulan Oktober. Menjadi Jesuit berarti mengabdikan diri pada Yesus yang memanggul salib. Beban salib yang dipanggul mungkin lebih berat dibanding pilihan-pilihan sarana pengabdian yang lain. Ini jelas bukan mudah, karena akan dibutuhkan tenaga lebih besar, kerja lebih keras, dan kesiapsediaan akan ketidaknyamanan dan ketidakamanan. Aku teringat dalam komentar atas Roma 3:21-31, bahwa orang harus lebih percaya dari pada berusaha. Penutup bahan doa rekoleksi kali ini menegaskan akan hal tersebut. Credo Pugno! Aku percaya maka aku berjuang.

Pagi hari, 29 November 2009, aku sudah membuat suatu pemetaan panggilan, mendaftar pro dan kontra, nilai-nilai positif dan negatif, kelebihan dan kekurangan, hal-hal yang mendukung maupun yang menghambat, jika aku terus melangkah menuju penegasan atau memilih jalan yang lain. Aku mencoba dengan cermat melihat kondisi diriku; usia, kemampuan belajar, kondisi orang tua, kesehatan, pekerjaan, kemampuan adaptasi, pendidikan, penghayatan akan trikaul, kemampuan bekerja sama, hidup doa, pandangan terhadap Gereja, pandangan terhadap St. Ignatius, dan beberapa aspek lainnya. Consideratio Status, demkianlah aku mencoba melihat jenis tanahku. Aku juga  merenungkan kontribusi apa yang dapat aku sumbangkan bagi Serikat jika diterima. Walaupun ada banyak kekuranganku, aku memilih untuk mengikuti retret penegasan dan jika diperkenankan, mengikuti solisitasi. Tim Prompang belum mengambil keputusan apakah kami boleh ikut penegasan atau tidak. Keputusan akan diberitahukan kemudian. Jadi, aku tinggal menunggu pemberitahuan itu.

 16 Desember 2009, datang pesan singkat dari Fr. Lesnanto (Koordinator Tim Prompang Jakarta) yang memberitahukan bahwa aku terus ke retret penegasan. Dia memintaku agar mempersiapkan diri, mengumpulkan buah-buah pendampingan dan memperdalam hal-hal yang disarankan pendamping. “Biarlah Tuhan selalu menuntun kita di dalam jalan-Nya!” Demikian ia menutup pesan singkatnya. Terus terang, ada kegamangan sebelum pemberitahuan ini. Kalau dipanggil untuk penegasan, aku merasa persiapanku masih compang-camping. Kalau tidak diperkenankan mengikuti penegasan, aku merasa absurd saja segala yang telah kujalani. Tapi aku tidak ingin terpuruk dalam perasaan-perasaan mausiawi seperti itu. Terus berupaya di satu sisi dan berserah pada-Nya di sisi lain, fokus pada Asas dan Dasar, terus memurnikan motivasi dan memelihara sikap lepas bebas, demikian prinsip-prinsip yang harus senantiasa kuhidupi. Pesan singkat itu memberi kegairahan sekaligus penyadaran bahwa aku harus terus maju dalam hidup rohani.

Penegasan dan Solisitasi

Retret Penegasan diadakan di Mertoyudan, 14 s/d 17 Januari 2010. Rm. Gandhi yang memberikan briefing meminta kami agar dalam doa-doa selama retret memohon terang Roh Kudus supaya pemilihan dan keputusan yang diambil sungguh merupakan kehendak Tuhan bagi hidup kami. Pembimbing retret adalah Rm. Guido. Ia membeberkan tujuan penegasan ini adalah mengambil keputusan untuk solisitasi atau tidak. Untuk itu kami perlu yakin akan jalan ini, memahami kehendak Alah, menetapkan keputusan dan memperoleh peneguhan. Aku dibimbing untuk menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah hidupku, memeditasikan dan mengkontemplasikan perikop-perikop Kitab Suci yang membawaku untuk memahami peran aktif Allah dalam karya keselamatan manusia dan diriku sendiri, merasakan kembali sapaan-Nya yang unik dan personal dalam sejarah hidup panggilan, dan merefleksikan bagaimana relasiku dengan Allah sejauh ini. Asas dan Dasar kembali menjadi bahan doa, yang kemudian dilanjutkan dengan perikop Injil yang menegaskan bahwa mengikut Kristus bukan jalan yang aman dan mudah, namun mendatangkan risiko dan konsekuensi yang berat.

Malam terakhir retret penegasan adalah membuat electio. Sebelumnya ditegaskan bahwa suatu keputusan penting tidak boleh diambil jika seseorang dalam kesedihan rohani (desolasi). Keputusan itu hendaknya dibuat pada saat seseorang dalam konsolasi (kegembiraan rohani). Seperti saat menentukan jenis tanahku, kali ini juga aku perlu membuat pendaftaran; pro dan kontra jika melanjutkan, juga pro kontra jika tidak melanjutkan. Doa kontemplasi pagi harinya diambil dari Lukas 24:13-35, tentang penampakan Yesus pada dua murid di Emaus. Ada perasaan luar biasa yang sulit dilukiskan dalam kontemplasi ini, yang membawaku pada peneguhan sekaligus ketenangan. Aku memilih dengan segenap jiwa, hati dan pikiran untuk maju ke solisitasi.

“Tetap persiapkan diri dengan serius fisik dan mental, tetap semangat dan lepas bebas, ingat Asas dan Dasar!” Demikian pesan singkat Fr. Didik. Aku sudah memperoleh kepastian untuk maju ke solisitasi dan oleh karena pertimbangan demi kepentingan keluarga sudah memutuskan mengambil semacam pensiun dini dari tempatku bekerja. Pengunduran diri dari pekerjaan per 1 Februari memberi waktu bagiku untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tak cukup percaya diri terhadap potensi akademik, ketajaman intelektual dan juga stamina fisikku. Sehat secara fisik, tajam secara intelektual serta kehendak yang kuat, kiranya mutlak dipunyai para kandidat Serikat Jesus. Dalam hal ini kukira aku mempunyai semangat dan kehendak yang kuat saja.

“Come dan Follow Me!” Tema solisitasi 2010 mengutip panggilan Tuhan Yesus pada para murid-Nya yang pertama. Ya, aku datang, Tuhan, untuk mengikuti panggilan-Mu. Untuk pertama kalinya aku merasakan dinamika hidup di novisiat; doa, opera, makan siang resmi, corona, misa harian, dsb. Kesan terhadap para frater novis primi cukup positif. Rasa hati ini antara kikuk dan bersemangat. Maka rahmat yang dimohon adalah tepat; ketenangan akal dan budi agar mampu memahami dinamika solisitasi sehingga tahap penting ini dapat dijalani dengan baik. Ada 17 solisitan, 15 dari seminari dan 2 dari promosi panggilan. Aku menjadi kandidat paling berumur. Fr. Dani menjadi angelus yang menjadi pendampingku selama solisitasi.

26 Februari 2010. Agenda penting hari itu adalah wawancara dengan Rm. LA Sardi dan Rm. S. Suyitna. Isinya kurang lebih mirip dengan wawancara-wawancara yang dilakukan selama pendampingan intensif. Sejarah hidup, sejarah panggilan, moment-moment yang menjadi titik panggilan, situasi keluarga dan alasan mengapa memilih Serikat Jesus. Sebuah penekanan, semangatku yang besar jangan sampai membuatku kecewa jika tidak diterima. Kusampaikan pada examinator, bahwa aku siap apa pun hasil dari solisitasi ini. Hari berikutnya adalah wawancara dengan Rm. Padma. Begitu ringan dan mengesankan. Aku tak harus bicara yang berat-berat, malah banyak hal tentang dunia kerjaku sebelumnya ditanyakannya padaku. Itu semua untuk menghubungkanku dengan kontribusi yang bisa aku berikan jika menjadi Jesuit.

Hari-hari berikutnya, selain tetap menjalani dinamika hidup di novisiat, diisi dengan tes masuk STF Driyarkara, USD dan wawancara dengan Rm. Paul Suparno. Dari materi tes IPS aku menjadi sadar betapa pengetahuan umumku demikian buruk. Di sisi lain, wawancara dengan Rm. Paul ternyata tidak semenakutkan yang disharingkan para novis primi. Justru bagiku wawancara ini menjadi penutup yang indah, apa pun hasilnya. Satu hal yang baik sekali bagiku adalah, selalu ada kegembiraan tak terkira setiap selesai mengikuti proses panggilan Serikat Jesus, baik itu sekadar perbincangan, retret, rekoleksi, sampai pada solisitasi. Aku selalu pulang dengan api semangat yang berkobar dalam hati. Sungguhkah Roh Kudus telah bekerja, memberikan api cinta-Nya bagi pendosa yang (merasa) dipanggil ini?

Tanjung Karang Timur, lewat siang, 27 Maret 2010. Tukang pos datang dan menanyakan namaku. Kakak perempuanku sontak meneriakkan namaku, menyambut surat itu dengan gemetar, dan membuat tanda salib. Apakah perjalanan panggilanku terhenti di situ? Ternyata tidak. Aku diterima, namun keputusan tersebut baru berlaku efektif setelah aku mendapatkan surat keterangan sehat.

Penutup

Bagaimana akan aku gambarkan proses perjalanan panggilan ini? Panggilan itu 100% rahmat dan 100% usaha manusia. Terlepas dari segenap daya yang telah aku upayakan dari pihakku, rahmat Tuhanlah yang membuatku sampai pada tahap ini. Maka, melihat dan menghadirkan kembali peta perjalanan panggilan ini, hatiku dipenuhi dengan kekaguman, pujian dan syukur kepada Tuhan. Ada banyak hal yang sungguh aku syukuri; perjalanan Sumatera Selatan – Jakarta yang seringkali melelahkan dan kurang bisa aku nikmati (namun dapat jua kujalani), aneka perjumpaan dan sharing yang penuh kesan (dengan para pendamping maupun sesama prompang), moment-moment agung saat retret maupun rekoleksi, bimbingan para pendamping, latihan doa, wawancara dengan pembesar Serikat, dukungan keluarga, dan yang paling mengagumkan, adalah penyelenggaraan ilahi-Nya yang membawaku pada pengalaman-pengalaman itu. Bagaimanapun hasil tes kesehatan beberapa hari lagi itu, aku bersyukur pada Allah boleh menjalani dan mengalami itu semua. Sungguh semua dijadikan-Nya baik adanya. Sungguh amat baik semua yang Tuhan ijinkan untuk aku alami.


Civita Youth Camp, 2 Mei 2010

Senin, 03 Mei 2010

Kegiatan Promosi Panggilan Wilayah Jakarta

Teman-teman, selama 2 minggu ini, tim Promosi Panggilan wilayah Jakarta dibantu para frater dari Kolese Hermanum mengadakan Promosi Panggilan. Pada minggu Panggilan tanggal 24 dan 25 April 2010, para frater melakukan promosi di beberapa tempat, antara lain di Paroki St. Theresia, Paroki Blok Q, dan Paroki Blok B. Bruder Jumeno mengikuti acara live-in di Paroki Blok Q bersama Fr. Peter dan Rm. Dismas.
Fokus tim prompang diarahkan di Paroki Theresia. Paroki Theresia mengadakan acara pameran Panggilan. Pameran ini digelar mulai hari Sabtu sore sampai Minggu malam. Peserta pameran ada banyak (kurang lebih 25 Tarekat, antara lain Jesuit, OFM, Praja, Canossa, PMY, Ursulin, Seminari Wacana Bhakti, Putri Sion, dan masih banyak lagi). Tim promosi panggilan yang bekerja di Paroki Theresia adalah fr. Lesnanto, fr. Niko, fr. Didik, fr. Suryadi, fr. Advent, fr. Wahyu, dan fr. ernest. Secara khusus fr. Wahyu membuat poster-poster dan spanduk yang keren agar dapat menarik semakin banyak orang muda untuk bergabung dalam Serikat. Pameran semakin disemarakkan oleh kehadiran kaum muda yang mengikuti rekoleksi panggilan di sekolah Theresia. Rm. Hani, Rm. Sadhyoko, dan Rm. Sugiri datang memberi semangat untuk para Jesuit. Panitia dari paroki Theresia amat membantu kerja kami.
Pada tanggal 1 dan 2 Mei 2010, tim promosi panggilan melakukan promosi di Paroki Kramat. Ada 6 tarekat yang terlibat: CB, Jesut, PBHK, OFM, AK, dan BKK. Kami mencoba terlibat dalam paduan suara yang mengisi 2 kali Ekaristi (sabtu pk. 17.00 dan minggu pk. 09.00). Para frater yang ikut menyanyi antara lain fr. Benny, fr. Win, fr. Melky, fr. Robby, fr. Pat, fr. Harry, dan fr. Anggun. Fr. Harry dan fr. Anggun terlibat dalam kepanitiaan minggu panggilan di Paroki Kramat. Beberapa frater dan bruder juga diminta untuk membagikan sharing panggilan, yaitu fr. Wahyu, fr. Yan, dan bruder Jumeno. Fr. Top dan fr. Thep menjadi misdinar. Persiapan stan dilakukan hari minggu pagi oleh fr. Didik, br. Jumeno, fr. Anggun, fr. Harry, dan fr. ernest. Setelah misa Minggu pk. 09.00, ada acara bersama anak-anak dan kaum muda. Anak-anak diajak bermain melalui permainan berhadiah (pancing ikan, lempar gelang, pinball kelereng). Sembari menikmati makanan dan minuman yang disediakan oleh panitia, umat dihibur oleh berbagai penampilan dari para suster bruder dan frater, mulai dari tari, lagu, dan drama. Secara khusus, 4 frater Jesuit (fr. Top dan fr Pat dari Thailand, bersama fr. Anggun dan fr. Win dari Indonesia) menarikan sebuah tarian yang berasal dari Thailand. Acara ditutup dengan makan siang pk. 12.30
Tim Promosi Panggilan mengucapkan terima kasih atas keterlibatan para frater dan bruder yang telah berpartisipasi dan berjerih payah bekerja. Kita semua harus selalu ingat bahwa setiap Jesuit adalah promotor panggilan. Sayangnya, belum banyak yang mau menyadarinya dan terlibat.
Kemeriahan acara promosi panggilan tentu membawa harapan besar bahwa ada kaum muda yang tergerak dan terbakar untuk mengikuti Kristus dalam hidup religius.
Kami menunggu kalian!

Jumat, 23 April 2010

Tuhan Telah Siap. Siapkah kita?

Kawan-kawan, setelah cukup lama menghilang dari dunia maya, tim Prompang Serikat Jesus kembali lagi. Kami akan berusaha secara konsisten memberikan renungan-renungan agar kita dapat bersama-sama semakin menemukan apa kehendak Tuhan bagi diri kita. Kami juga menerima renungan-renungan dari teman-teman sekalian untuk dibagikan di forum ini. Berbagi (ber-sharing) adalah anugerah yang di masa kini semakin sulit kita dapatkan. Mari kita saling berbagi agar orang lain semakin merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup mereka.

Pada tulisan kali ini, kami ingin mengajak teman-teman mendengarkan sharing pengalaman dari seorang Jesuit dari Amerika bernama James Martin, S.J. Dia adalah seorang penulis yang berbakat. Sebelum bergabung dengan Serikat Jesus, dia telah bekerja dalam suatu perusahaan besar dan memperoleh kesuksesan. Namun, semangat untuk mengikuti Kristus begitu membakar hatinya sehingga dia memutuskan hidup dalam Serikat Jesus.

James Martin memiliki sebuah pertanyaan besar yang dimulainya ketika dia ada di novisiat. Apa artinya memiliki 'relasi' dengan Tuhan? Apa yang harus aku lakukan agar dapat berelasi dengan Tuhan? Awalnya, James Martin menduga bahwa dia harus berubah sebelum mendekati Tuhan karena dia merasa tidak layak bertemu Tuhan. Bahkan, untuk berdoa-pun, dia merasa tidak pantas. James Martin bertanya kepada pembimbingnya: apa yang harus aku lakukan sebelum aku berelasi dengan Tuhan? Romo pembimbing menjawab: Tidak Ada yang perlu kamu lakukan karena Tuhan akan menemui dirimu dimanapun kamu berada.

Mendengar jawaban dari Romo pembimbing, James Martin merasa lega. Meskipun Tuhan selalu memanggil kita untuk bertobat dan bertumbuh, dan meskipun kita tidaklah sempurna dan berdosa, Tuhan selalu mencintai kita sebagaimana kita adanya. Seorang Jesuit dari India bernama Anthony de Mello, S.J pernah berkata: kamu tidak perlu berubah untuk membuat Tuhan mau mencintaimu. Dan ini menjadi dasar penting dalam Latihan Rohani St. Ignatius Loyola ketika memasuki minggi pertama: bahwa kita dicintai dalam ketidaksempurnaan kita.

James Martin kemudian mencoba merenungkan Perjanjian Baru. Yesus menyerukan pertobatan kepada orang-orang, mengubah hidup mereka. Namun, ketika orang masih enggan untuk berubah dan bertobat, Yesus tidak ragu-ragu untuk menjalin relasi dengan mereka. Yesus menemui mereka sebagaimana mereka adanya. Dari hidup Yesus, kita bisa melihat bahwa Tuhan menghendaki untuk selalu berelasi dengan kita. Namun, cara Tuhan berelasi dengan kita sangatlah bergantung dari posisi kita dalam hidup.

Seandainya kita amat menghargai persahabatan, maka Tuhan akan menemui diri kita dengan cara ini: melalui persahabatan. James Martin menceritakan tentang seorang temannya yang bersharing bahwa dia memiliki saat-saat yang sulit untuk bersyukur. James Martin bertanya kepadanya: dimana kamu merasa paling sering menemukan Tuhan? Temannya menjawab tanpa ragu: pada anak-anakku!

Tuhan dapat bertemu dengan kita dimana saja. James Martin memiliki seorang teman Jesuit yang melayani di penjara dan memberikan Latihan Rohani kepada para tahanan. Seorang tahanan menceritakan bahwa suatu hari dia hendak memukul temannya, namun tiba-tiba dia merasakan Tuhan memberikan kepadanya 'suatu waktu' untuk mempertimbangkan. Di sinilah Tuhan bertemu dengan umat-Nya di dalam penjara.

Tuhan juga menemui kita dengan cara yang dapat kita pahami, cara yang bermakna bagi kita. Seringkali Tuhan berbicara kepada kita dengan cara yang amat personal, yang amat terkait dengan situasi hidup kita sehingga seringkali sulit untuk menjelaskannya kepada orang lain.

Seorang penulis bernama Gustave Flaubert pernah menulis cerita pendek berjuduk 'Hati yang Sederhana'. Cerita tersebut menceritakan seorang perempuan yang miskin bernama Felicite. Dia bekerja sebagai pembantu di rumah Ny. Aubain yang kejam. Suatu hari, Ny. Aubain memberikan pada Felicite seekor burung kakatua yang berwarna cerah bernama Loulou. Burung kakatua ini adalah satu-satunya hadiah yang pernah diterima Felicite. Lalu datanglah saat yang menyedihkan: Loulou mati. Dalam kesedihan, Felicite membawa Loulou yang sudah mati untuk diawetkan. Felicite meletakkan burung kakatua di atas sebuah lemari besar bersama benda-benda suci yang dia miliki. Setiap pagi ketika Felicite bangun tidur, dia akan memandang Loulou sambil mengingat hari-hari yang telah lewat dan hal-hal kecil dari peristiwa yang tidak penting, tidak dengan kesedihan, namun dengan kedamaian. Setelah majikannya meninggal, Felicite semakin tua dan hidup dalam kesederhanaan dan kesalehan. Akhirnya, pada saat kematiannya, Felicite mendapat penglihatan yang aneh namun indah: ketika Felicite menghembuskan nafas terakhirnya, dia seolah-olah melihat di langit yang terbuka seekor kakatua raksasa yang melayang-layang di atas kepalanya. Tuhan datang kepada kita melalui cara yang dapat kita pahami.

James Martin pernah bertugas di Nairobi, Kenya bersama Jesuit Refugee Services (JRS). Dia membantu pengungsi dari Afrika Timur yang tinggal di dalam kota untuk memulai usaha agar dapat menopang hidup mereka. Pada awal tugasnya, James Martin merasakan kesepian karena terpisah dari teman-teman dan keluarganya yang ada di Amerika. Setelah beberapa bulan bekerja keras, James Martin didiagnosa mengalami kelainan darah bernama mononucleosis yang membutuhkan dua bulan masa pemulihan. Itu menjadi masa-masa yang berat. Namun, James Martin bekerja bersama orang-orang yang murah hati. Ada seorang relawan bernama Uta. Dia adalah seorang Lutheran dari Jerman yang sudah berpengalaman bekerja bersama para pengungsi di Asia Selatan. Setelah James Martin sembuh dari sakit, kerja mereka dilanjutkan dan mulai terlihat hasilnya: mereka membantu para pengungsi mendirikan 20 usaha, termasuk penjahit, restaurant, toko roti, dan peternakan ayam. James Martin dan Uta membuat toko kecil yang menjual kerajinan tangan para pengungsi.

Pengalaman James Martin adalah pengalaman yang menakjubkan. Dari pengalaman frustrasi karena sakit dan kesepian, James Martin masuk ke dalam pengalaman bekerja bersama para pengungsi dan menyadari bahwa ini adalah saat membahagiakan dan membebaskan yang pernah dia rasakan. Ada banyak kesulitan, namun ada banyak kebahagiaan yang ditemukan.

Suatu hari, dia berjalan pulang dari toko souvenir. Dia melewati jalan yang cukup panjang dari lingkungan yang kumuh, naik menuju bukit, lalu turun melewati pepohonan, bunga lili, dan rerumputan serta ladang jagung. Sembari berjalan, James Martin melewati orang-orang yang sedang bekerja di ladang mereka. Mereka memanggilnya ketika dia lewat. Burung-burung berwarna cerah bernyanyi dengan riang. Di dasar lembah ada sungai kecil, dan James Martin menyeberangi jembatan yang ada di atasnya. Ketika dia telah sampai di sisi lain dari bukit, dia berbalik dan melihat matahari menyinari jalan, sungai, orang-orang, pohon, bunga, dan rerumputan. Di sanalah, James Martin dipenuhi oleh kebahagiaan. Dia merasakan kepenuhan setelah mengalami berbagai kesulitan dan penderitaan. Itu menjadi pengalaman yang sungguh mengejutkan. Di sana Tuhan berbicara kepadanya dimana dia berada dan menawarkan apa yang James Martin butuhkan. Memang sulit untuk menggambarkan secara utuh perasaan tersebut. Namun, itu suatu pengalaman personal yang bermakna yang telah mengubah hidup James Martin.

Tuhan berbicara kepada kita dengan cara yang dapat kita pahami. Tuhan berbicara kepada Ignatius dari Loyola ketika dia sedang dalam masa pemulihan setelah terluka parah dalam perang. Tuhan berbicara kepada James Martin secara khusus di Nairobi melalui pemandangan di desa kecil tersebut. Tuhan berbicara kepada kita setiap waktu, tidak peduli betapa membingungkan hidup kita. Kita tidak perlu membuat hidup yang sempurna agar dapat mengalami Tuhan. Di dalam Kitab Suci, Yesus bertemu dengan orang-orang ketika mereka sedang bekerja: Petrus sedang memperbaiki jala di tepi pantai, Matius yang duduk di kantor pemungut cukai. Yesus juga menjumpai orang-orang yang sungguh menderita: perempuan yang berzinah yang akan dirajam, perempuan yang sakit bertahun-tahun, laki-laki yang kerasukan. Dalam berbagai situasi tersebut, Tuhan berkata: Aku siap untuk bertemu denganmu apabila kamu siap untuk menemui-Ku.

Jika Tuhan menemuimu di mana kamu berada, maka di mana kamu berada adalah tempat untuk bertemu dengan Tuhan. Kita tidak perlu menunggu sampai hidup kita tenang atau kita memiliki rumah yang bagus, atau kita sembuh dari sakit, atau kita telah menjadi lebih religius, atau kita telah berdoa lebih baik. Kita tidak perlu menunggu karena Tuhan telah siap saat ini juga.

(disarikan dari America, 8 Maret 2010)