Tunas Hijau di tengah Padang GurunUntuk menemani perjalanan kita dalam masa pra-paskah ini, Margaret Silf memberikan sebuah refleksi yang berguna bagi hidup kita.
Masa pra-paskah adalah waktu untuk mengingat bahwa kita semua hidup di padang gurun. Hidup di padang gurun berarti kita mengambil resiko mengikuti Yesus yang dicobai di padang gurun. Padang gurun dapat hadir dalam berbagai bentuk: entah secara geografis ataupun spiritual, terasa panas ataupun dingin, diterangi oleh cahaya yang menyilaukan ataupun diliputi kegelapan yang pekat. Padang gurun tidak banyak memberi pilihan kepada kita. Padang gurun memanggil kita untuk masuk lebih dalam, berziarah memasuki inti diri kita.
Padang gurun merupakan tempat yang sungguh gersang dan keras, tempat di mana kita tak perlu mengimpikan sebuah pertemuan. Namun, di sela-sela batu-batu, masih ditemukan bunga-bunga liar yang menjadi tanda kehidupan. Pra-Paskah menjadi sebuah undangan untuk membiarkan pertumbuhan yang baru dimulai dalam hati kita. Benih yang kecil tidak hanya menjadi janji bagi masa depan, namun sesuatu yang dapat kita raih saat ini apabila kita dapat mengenali dan merayakannya.
Bayangkanlah dirimu berdiri di sebuah persimpangan, tepat di tengah persimpangan jalan. Yang dapat kau lihat hanyalah horison tanpa batas, kesepian yang mencekam, kekeringan. Beranikah kita bergerak maju, masuk ke dalam jiwa dari tempat yang terlihat gersang tersebut? Beranikah kita masuk ke dalam jiwa kita, melihat benih apa yang sudah menunggu di sana untuk tumbuh dan berbuah pada waktunya?
Margaret Silf membagikan pengalamannya berada dalam sebuah kota yang diliputi salju, sebuah kota yang terlihat murung dan gelap. Namun, di dalam kota tersebut, Margaret Silf menemukan kehidupan dalam kelompok oikumene yang memiliki satu hasrat: mengikuti Yesus kemanapun Dia menuntun, semakin dekat pada Tuhan dan sesama. Ada kehangatan dan kedekatan.
Di tempat itu, Margaret Silf juga menemukan cerita pengalaman tentang rekonsiliasi penduduk asli Indian yang telah diperlakukan dengan kejam oleh orang kulit putih. Organisasi gereja dengan karya misinya memiliki tanggungjawab dalam mencerabut keberakaran penduduk asli dari keluarga mereka. Kedua belah pihak merefleksikan pengalaman mereka dan mempertemukan pengalaman tersebut. Penyembuhan terjadi ketika pengalaman yang menyakitkan tersebut saling bertemu, di mana kebenaran diungkapkan dan kejujuran didengarkan. Setiap pribadi diajak kembali ke dalam dasar sejati dari diri dimana Roh Tuhan tinggal di dalamnya, sekaligus menghormati Roh yang ada dalam diri sesama.
Dari kegersangan ternyata tersimpan potensi pertumbuhan baru yang radikal. Jika kita mampu diam dan hening sembari memohon rahmat Tuhan untuk meletakkan akar yang lebih dalam, Tuhan tidak akan berhenti mengejutkan kita dengan berbagai kemungkinan baru. Kita semua diajak untuk kembali ke dalam hati, kembali ke dalam Roh sejati. Kita semua diajak mengakui kegersangan sekaligus menerima undangan Tuhan untuk mencium harumnya kembang.
(Margaret Silf adalah seorang awam yang mendalami spiritualitas Ignasian. Disarikan dari America 22 Februari 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar